Wednesday, November 24, 2010

Menjaga Tranformasi Keilmuan

Judul Buku : Aku Menulis Maka Aku Ada
Penulis : KH. Zainal Arifin Thoha
Penerbit : Kutub, Yogyakarta
Edisi : Maret 2009
Tebal : xviii + 182 Halaman
Peresensi : Sungatno*
http://cawanaksara.blogspot.com/

Hingga kini, rakyat Indonesia masih mendapat klaim dari berbagai penyelenggara penelitian sebagai bangsa yang minat bacanya rendah. Tak pelak, dari berbagai pihak yang -konon terlanjur- cinta baca, selalu menghimbau dan mengajak bangsa ini untuk berlatih dan membudayakan aktivitas membaca.

Sayangnya, himbauan itu menjadi sia-sia ketika bangsa yang masih malas-malasan untuk membaca ini berkilah. Kilah itu pun tampak logis ketika mereka berdalih bahwa anggaran untuk beli buku lebih baik dialihkan untuk kepentingan yang lebih mendesak kegunaannya. Terlebih ketika harga buku menjadi mahal akibat harga kertas yang melambung. Sementara, perpustakaan yang ada di tengah masyarakat tidak mampu menarik minat baca mereka. Mulai dari koleksi buku yang minim, tidak sesuai dengan perkembangan keilmuan dan informasi, ruangan sempit, panas, banyak aturan dan sejumlah kendala lain yang menghilangkan selera baca.

Namun, menurut KH. Zainal Arifin Thoha –penulis buku ini, tidak seharusnya bangsa ini apatis dengan fasilitas dan sarana bacaan yang realitanya memang masih demikian. Bangsa ini perlu selalu dan selalu membaca. Selain itu, pihak pemerintah hendaknya segera memperhatikan kebutuhan bangsa ini terkait dengan bahan bacaan dan fasilitas lainnya. Bukankah dalam sejarah kemajuan suatu bangsa di dunia ini tidak luput dari kegiatan dan ketekuan membaca?

Selain itu kyai yang menekuni dunia jurnalistik ini mengajak pembaca untuk merenungi aktivitas membaca itu sendiri. Jika kita selalu membaca dan membaca tanpa merenungkan hari esok, aktivitas itu akan menjadi sia-sia pula. Informasi dan keilmuan dalam suatu bacaan akan berhenti pada si pembaca saja. Maksimal isi dari suatu bacaan akan dikonsumsi sendiri dan orang lain yang kebetulan diberi tahu tentang isi tersebut. Akibatnya, konsekuensi logis pun akan menimpa generasi berikutnya. Mereka akan kehilangan kesempatan untuk mengetahui dan menikmati bacaan itu ketika si pembaca dan atau pendengar isi bacaan telah meninggal dunia. Terlebih ketika literatur itu telah musnah atau hilang di telan usia.

Sehingga, selain membaca, bangsa ini hendaknya turut menjaga transformasi ilmu pengetahuan dan informasi yang diperoleh mereka. Tentunya, dengan mendokumentasikan keilmuan dan informasi itu dalam suatu media; baik dalam buku, media massa maupun lainnya. Sayangnya, hal itu masih belum tampak menggairahkan pula. Seiring dengan rendahnya minat baca, bangsa ini masih malas dan kurang peduli terhadap generasi yang akan datang. Maka, bangsa ini perlu segera membudayakan membaca, lantas mengolah informasi dan keilmuan yang didapatkannya guna didokumentasikan untuk dikonsumsi orang lain dan generasi berikutnya.

Budaya Menulis

Meski budaya membaca di negara ini masih dikatakan rendah, tidak semestinya bagi mereka yang telah suka membaca menjadi egois. Egosisme itu perlu diganti dengan kepedulian untuk menyalurkan pengetahuannya kepada orang lain. Adapun salah satu cara untuk mewujudkan kepedulian itu adalah membudayakan menulis. Dengan menulis dan menyebarluaskan pengetahuannya itu orang lain akan mendapat manfaat dan transformasi pengetahuan tidak akan berhenti pada salah satu orang saja. Walhasil, dengan informasi dan ilmu pengetahuan itu, bangsa ini akan lebih maju daripada bangsa terdahulu atau bangsa yang tidak membudayakan membaca dan menulis.

Untuk melengkapi gagasan itu, kyai yang akrab dipanggil Gus Zainal ini menuliskan panduan dan berbagai contoh tulisan-tulisan pribadinya dan orang lain. Mulai dari jenis tulisan opini, resensi, esei, puisi, cerita pendek (cerpen), dan kolom. Dari semua jenis tulisan itu dibahas secara mendetail, santai, dan menggunakan bahasa yang sekiranya cocok untuk membahas jenis-jenis tulisan tersebut. Semisal, ketika membahas opini (gagasan), gaya bahasa yang digunakannya belum tentu sama dengan gaya bahasa ketika membahas esai, puisi, cerpen maupun karya sastra lainnya.

Meski bahasa yang digunakannya menyesuaikan setiap pembahasan yang ada, secara keseluruan gaya bahasa yang digunakannya tidak terlalu berat. Uniknya, susunan gaya bahasa yang digunakan beraroma sastra, lentur, tidak kering, dan tidak monoton pada pilihan kata-kata tertentu. Sehingga, selain mengajak pembaca untuk tetap menjaga gairah membaca dan menulis, buku ini mengenalkan kekayaan khazanah kata-kata bahasa Indonesia yang kemunculannya masih belum banyak diketahui. Selain itu, di akhir buku ini juga disertakan sejumlah email media massa cetak maupun elektronik. Sayangnya, penulis hanya menyertakan email media massa tanpa menginformasikan email penerbit buku yang juga berkaitan dengan budaya membaca dan menulis. Begitu juga, yang ada hanya email saja tanpa alamat media massa dan nomor telephon yang bisa dihubungi.

Terlepas dari itu semua, gagasan untuk menjaga transformasi keilmuan perlu direaliasikan bangsa ini. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupan informasi dan ilmu pengetahuan serta peduli dengan generasi berikutnya. Selamat berkarya.***

*) Ketua Lembah Kajian Peradaban Bangsa (LKPB) Yogyakarta

Menjaga Tranformasi Keilmuan

Judul Buku : Aku Menulis Maka Aku Ada
Penulis : KH. Zainal Arifin Thoha
Penerbit : Kutub, Yogyakarta
Edisi : Maret 2009
Tebal : xviii + 182 Halaman
Peresensi : Sungatno*
http://cawanaksara.blogspot.com/

Hingga kini, rakyat Indonesia masih mendapat klaim dari berbagai penyelenggara penelitian sebagai bangsa yang minat bacanya rendah. Tak pelak, dari berbagai pihak yang -konon terlanjur- cinta baca, selalu menghimbau dan mengajak bangsa ini untuk berlatih dan membudayakan aktivitas membaca.

Sayangnya, himbauan itu menjadi sia-sia ketika bangsa yang masih malas-malasan untuk membaca ini berkilah. Kilah itu pun tampak logis ketika mereka berdalih bahwa anggaran untuk beli buku lebih baik dialihkan untuk kepentingan yang lebih mendesak kegunaannya. Terlebih ketika harga buku menjadi mahal akibat harga kertas yang melambung. Sementara, perpustakaan yang ada di tengah masyarakat tidak mampu menarik minat baca mereka. Mulai dari koleksi buku yang minim, tidak sesuai dengan perkembangan keilmuan dan informasi, ruangan sempit, panas, banyak aturan dan sejumlah kendala lain yang menghilangkan selera baca.

Namun, menurut KH. Zainal Arifin Thoha –penulis buku ini, tidak seharusnya bangsa ini apatis dengan fasilitas dan sarana bacaan yang realitanya memang masih demikian. Bangsa ini perlu selalu dan selalu membaca. Selain itu, pihak pemerintah hendaknya segera memperhatikan kebutuhan bangsa ini terkait dengan bahan bacaan dan fasilitas lainnya. Bukankah dalam sejarah kemajuan suatu bangsa di dunia ini tidak luput dari kegiatan dan ketekuan membaca?

Selain itu kyai yang menekuni dunia jurnalistik ini mengajak pembaca untuk merenungi aktivitas membaca itu sendiri. Jika kita selalu membaca dan membaca tanpa merenungkan hari esok, aktivitas itu akan menjadi sia-sia pula. Informasi dan keilmuan dalam suatu bacaan akan berhenti pada si pembaca saja. Maksimal isi dari suatu bacaan akan dikonsumsi sendiri dan orang lain yang kebetulan diberi tahu tentang isi tersebut. Akibatnya, konsekuensi logis pun akan menimpa generasi berikutnya. Mereka akan kehilangan kesempatan untuk mengetahui dan menikmati bacaan itu ketika si pembaca dan atau pendengar isi bacaan telah meninggal dunia. Terlebih ketika literatur itu telah musnah atau hilang di telan usia.

Sehingga, selain membaca, bangsa ini hendaknya turut menjaga transformasi ilmu pengetahuan dan informasi yang diperoleh mereka. Tentunya, dengan mendokumentasikan keilmuan dan informasi itu dalam suatu media; baik dalam buku, media massa maupun lainnya. Sayangnya, hal itu masih belum tampak menggairahkan pula. Seiring dengan rendahnya minat baca, bangsa ini masih malas dan kurang peduli terhadap generasi yang akan datang. Maka, bangsa ini perlu segera membudayakan membaca, lantas mengolah informasi dan keilmuan yang didapatkannya guna didokumentasikan untuk dikonsumsi orang lain dan generasi berikutnya.

Budaya Menulis

Meski budaya membaca di negara ini masih dikatakan rendah, tidak semestinya bagi mereka yang telah suka membaca menjadi egois. Egosisme itu perlu diganti dengan kepedulian untuk menyalurkan pengetahuannya kepada orang lain. Adapun salah satu cara untuk mewujudkan kepedulian itu adalah membudayakan menulis. Dengan menulis dan menyebarluaskan pengetahuannya itu orang lain akan mendapat manfaat dan transformasi pengetahuan tidak akan berhenti pada salah satu orang saja. Walhasil, dengan informasi dan ilmu pengetahuan itu, bangsa ini akan lebih maju daripada bangsa terdahulu atau bangsa yang tidak membudayakan membaca dan menulis.

Untuk melengkapi gagasan itu, kyai yang akrab dipanggil Gus Zainal ini menuliskan panduan dan berbagai contoh tulisan-tulisan pribadinya dan orang lain. Mulai dari jenis tulisan opini, resensi, esei, puisi, cerita pendek (cerpen), dan kolom. Dari semua jenis tulisan itu dibahas secara mendetail, santai, dan menggunakan bahasa yang sekiranya cocok untuk membahas jenis-jenis tulisan tersebut. Semisal, ketika membahas opini (gagasan), gaya bahasa yang digunakannya belum tentu sama dengan gaya bahasa ketika membahas esai, puisi, cerpen maupun karya sastra lainnya.

Meski bahasa yang digunakannya menyesuaikan setiap pembahasan yang ada, secara keseluruan gaya bahasa yang digunakannya tidak terlalu berat. Uniknya, susunan gaya bahasa yang digunakan beraroma sastra, lentur, tidak kering, dan tidak monoton pada pilihan kata-kata tertentu. Sehingga, selain mengajak pembaca untuk tetap menjaga gairah membaca dan menulis, buku ini mengenalkan kekayaan khazanah kata-kata bahasa Indonesia yang kemunculannya masih belum banyak diketahui. Selain itu, di akhir buku ini juga disertakan sejumlah email media massa cetak maupun elektronik. Sayangnya, penulis hanya menyertakan email media massa tanpa menginformasikan email penerbit buku yang juga berkaitan dengan budaya membaca dan menulis. Begitu juga, yang ada hanya email saja tanpa alamat media massa dan nomor telephon yang bisa dihubungi.

Terlepas dari itu semua, gagasan untuk menjaga transformasi keilmuan perlu direaliasikan bangsa ini. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupan informasi dan ilmu pengetahuan serta peduli dengan generasi berikutnya. Selamat berkarya.***

*) Ketua Lembah Kajian Peradaban Bangsa (LKPB) Yogyakarta

Buku Biografi Kiai Pesantren

Saiful Amin Ghofur*
http://www.jawapos.com/

KH MUSTOFA Bisri, suatu ketika, saat orasi pernah mengoarkan kegelisahan: kenapa budaya tulis, khususnya menulis sejarah kehidupan tokohnya sendiri, tidak berkembang di kalangan pesantren, padahal semua menyadari betapa pentingnya hal itu. Gerundelan kiai-budayawan Rembang yang akrab disapa Gus Mus tersebut tentu bukan isapan jempol semata. Apalagi gurauan. Meski diujarkan dengan tergelak, serasa sindiran getir nan satir itu mengena dengan telak.

Kegelisahan Gus Mus itu saya alami sendiri ketika menghimpun data terserak tentang KH Arief Hasan, pendiri Pesantren Roudlotun Nasyi’in Beratkulon, Mojokerto. Padahal, Kiai Arief belum terlalu lama wafat, 1988. Tapi, kisah kehidupannya berpendar secara lisan di antara karib-kerabat yang terpencar-pencar. Sayang, kebanyakan mereka telah menyusul Kiai Arief mangkat. Untuk mengurai keriangan masa kanak-kanak Kiai Arief saja, tinggal seorang teman sepermainan. Itu pun sudah sangat uzur. Bincang pelan dia tak mendengar, bicara keras disangka membentak. Tapi untunglah, setelah berbulan-bulan gerilya data, buku Jejak Keteladanan KH Arief Hasan dikhatamkan.

Peristiwa serupa terulang ketika kini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Mojokerto hendak membukukan sosok kiai-pejuang Mojokerto. Sampai saat ini, data terhimpun belum separonya dari target yang ditentukan. Padahal, buku tersebut di-launching Habib Lutfi bin Yahya, Said Aqil Siraj, dan Gus Mus akhir bulan ini bersamaan dengan sarasehan memperingati haul Syekh Jumadil Kubro di Trowulan.

Bila diurai, ada beberapa faktor penyebab berlarut-larutnya penulisan buku biografi kiai pesantren tersebut. Misalnya, minim data tertulis, kisah beredar secara lisan, banyak saksi kunci yang mati, tanggapan keluarga kiai yang nonkooperatif, serta lemahnya budaya tulis pesantren.

Harus diakui bahwa akar persoalan dari kerumitan pembukuan biografi kiai pesantren adalah lemahnya budaya tulis pesantren. Itu sekaligus mengamini sepenggal kegelisahan Gus Mus di atas. Sebagian besar pesantren masih menitikberatkan tradisi oral-aural, budaya bicara-dengar, dalam pembelajarannya. Budaya tulis belum mendapat tempat yang layak dalam iklim pendidikan pesantren.

Tentu saja, dengan tidak bermaksud menggeneralisasi seluruh pesantren, tapi mengingat jumlah pesantren begitu membiak, jelas pesantren yang memberikan ruang bagi kreativitas tulis-menulis masih amat sedikit. Di Jawa Timur saja, menurut data statisitik Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren Departemen Agama, pada 2007 tercatat 4.404 pesantren. Lalu, di Jawa Tengah 2.187 pesantren, Jawa Barat 3.561 pesantren, dan Jakarta 87 pesantren. Dalam skala nasional, berdasar kategori pesantren, jenis pesantren salaf (tradisional) di Indonesia sebanyak 8.905, pesantren khalaf (modern) 878, dan pesantren terpadu 4.284. Total keseluruhan tak kurang dari 14.000 pesantren di Indonesia.

Sekarang persoalannya, di antara belasan ribu pesantren tersebut, berapa banyak buku biografi kiai pesantren yang telah diterbitkan. Jumlah buku biografi kiai pesantren yang sudah meruyak pasar perbukuan masih bisa dihitung dengan jari. Apalagi, para kiai pesantren yang jejak keteladanannya direkam dalam buku baru sebatas kiai karisma dan ketokohannya diakui secara nasional. Sebut saja, Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang), Kiai Abdullah Hamid (Pasuruan), Gus Mik (Kediri), Kiai Arwani (Kudus), Kiai Munawwir (Krapyak), dan sebagainya. Sementara itu, jumlah kiai pesantren yang ketokohannya masih taraf lokal-regional ibarat gugusan pasir yang menghampar di pantai susah ditaksir dengan lentik jemari.

Karut-marut pembukuan kiai pesantren Mojokerto oleh dinas pariwisata dan kebudayaan setempat seharusnya menjadi pelajaran berharga sekaligus otokritik bagi pesantren secara keseluruhan. Insan pesantren mesti berani mendobrak, meminjam istilah Paulo Freire, budaya bisu (silent culture) yang sekian lama menggelayuti urat nadi kehidupan pesantren. Budaya bisu itulah yang menihilkan kreativitas sehingga pesantren acap terbuai sekaligus terbelenggu bayang-bayang mitos kebesaran dan kejayaan masa lalu.

Adalah KH Zainal Arifin Thoha yang semasa hidupnya terobsesi untuk mengangkat kembali kreativitas kepenulisan di pesantren dengan mendirikan Pesantren Hasyim Asy’ari di Jogjakarta bersama ”Si Celurit Emas” D. Zawawi Imron. Pesantren itu lebih difungsikan untuk mengasah nalar kreatif santri dalam hal tulis-menulis. Karena Gus Zainal adalah seorang penulis, menulis di pesantren itu menjadi sebuah keniscayaan.

Obsesi Gus Zainal diejawantahkan pula dalam kampanye kepenulisan ke berbagai pesantren. Ketika menyertainya road show ke berbagai pesantren yang tersebar di sejumlah kota di Jawa Timur bersama Ahmad Munif, Evi Idawati, dan Ahmad Tohari, saya tahu persis betapa menggeloranya Gus Zainal membakar semangat para santri untuk menekuni lagi tradisi menulis yang mulai dikremasi. Dengan kesadaran penuh, Gus Zainal merekam seluruh proses kreatif kepenulisannya dalam buku Aku Menulis Maka Aku Ada. Keteladanan, semangat, dan kearifan menekuni tulisan hingga kini masih terjaga meski Gus Zainal telah menanggalkan kesementaraan dunia pada 14 Maret 2007.

Apa yang telah diperbuat Gus Zainal semestinya bisa menjadi cermin dan digandakan di pesantren lain. Setidaknya, pesantren mau membuka diri dan memberi ruang materi tulis-menulis dalam kurikulum pendidikannya. Pelan-pelan tradisi menulis di pesantren akan menguat. Hatta, problem penulisan buku biografi kiai pesantren bisa diurai sejak dini.

Memang, butuh waktu relatif lama untuk menuntaskan agenda penulisan buku biografi kiai pesantren. Apalagi untuk kiai pesantren lokal-regional yang tergerus dan berada di tubir sejarah popularitas, perlu keterlibatan banyak pihak, termasuk instansi pemerintah. Kebijakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Mojokerto untuk membukukan kiai pejuang di wilayah tersebut pantas diapresiasi dan semestinya direaksi pemerintah daerah lain. Sebab, mereka adalah aset kultural yang tak ternilai jasa dan pengabdian sepanjang hidupnya untuk mengayomi umat.

Bahwa mengenang para kiai yang telah wafat tak cukup sekadar mengadakan haul secara rutin saban tahun. Mengabadikan keteladanan mereka menjadi buku justru merupakan bentuk khidmat yang membawa manfaat nyata. Selama keteladanan itu masih terekam dalam ingatan yang cuma sepercik, kelak akan pudar dan aus oleh gerusan waktu. Hingga yang tersisa adalah batu nisan yang terus disambangi tanpa makna berarti.

Sebelum benar-benar terlambat, mari memulai mengabadikan keteladanan para kiai pesantren menjadi buku dengan segenap perasaan cinta dan rindu.

*) Redaktur Jurnal Millah, MSI UII Jogjakarta

Buku Biografi Kiai Pesantren

Saiful Amin Ghofur*
http://www.jawapos.com/

KH MUSTOFA Bisri, suatu ketika, saat orasi pernah mengoarkan kegelisahan: kenapa budaya tulis, khususnya menulis sejarah kehidupan tokohnya sendiri, tidak berkembang di kalangan pesantren, padahal semua menyadari betapa pentingnya hal itu. Gerundelan kiai-budayawan Rembang yang akrab disapa Gus Mus tersebut tentu bukan isapan jempol semata. Apalagi gurauan. Meski diujarkan dengan tergelak, serasa sindiran getir nan satir itu mengena dengan telak.

Kegelisahan Gus Mus itu saya alami sendiri ketika menghimpun data terserak tentang KH Arief Hasan, pendiri Pesantren Roudlotun Nasyi’in Beratkulon, Mojokerto. Padahal, Kiai Arief belum terlalu lama wafat, 1988. Tapi, kisah kehidupannya berpendar secara lisan di antara karib-kerabat yang terpencar-pencar. Sayang, kebanyakan mereka telah menyusul Kiai Arief mangkat. Untuk mengurai keriangan masa kanak-kanak Kiai Arief saja, tinggal seorang teman sepermainan. Itu pun sudah sangat uzur. Bincang pelan dia tak mendengar, bicara keras disangka membentak. Tapi untunglah, setelah berbulan-bulan gerilya data, buku Jejak Keteladanan KH Arief Hasan dikhatamkan.

Peristiwa serupa terulang ketika kini Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Mojokerto hendak membukukan sosok kiai-pejuang Mojokerto. Sampai saat ini, data terhimpun belum separonya dari target yang ditentukan. Padahal, buku tersebut di-launching Habib Lutfi bin Yahya, Said Aqil Siraj, dan Gus Mus akhir bulan ini bersamaan dengan sarasehan memperingati haul Syekh Jumadil Kubro di Trowulan.

Bila diurai, ada beberapa faktor penyebab berlarut-larutnya penulisan buku biografi kiai pesantren tersebut. Misalnya, minim data tertulis, kisah beredar secara lisan, banyak saksi kunci yang mati, tanggapan keluarga kiai yang nonkooperatif, serta lemahnya budaya tulis pesantren.

Harus diakui bahwa akar persoalan dari kerumitan pembukuan biografi kiai pesantren adalah lemahnya budaya tulis pesantren. Itu sekaligus mengamini sepenggal kegelisahan Gus Mus di atas. Sebagian besar pesantren masih menitikberatkan tradisi oral-aural, budaya bicara-dengar, dalam pembelajarannya. Budaya tulis belum mendapat tempat yang layak dalam iklim pendidikan pesantren.

Tentu saja, dengan tidak bermaksud menggeneralisasi seluruh pesantren, tapi mengingat jumlah pesantren begitu membiak, jelas pesantren yang memberikan ruang bagi kreativitas tulis-menulis masih amat sedikit. Di Jawa Timur saja, menurut data statisitik Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren Departemen Agama, pada 2007 tercatat 4.404 pesantren. Lalu, di Jawa Tengah 2.187 pesantren, Jawa Barat 3.561 pesantren, dan Jakarta 87 pesantren. Dalam skala nasional, berdasar kategori pesantren, jenis pesantren salaf (tradisional) di Indonesia sebanyak 8.905, pesantren khalaf (modern) 878, dan pesantren terpadu 4.284. Total keseluruhan tak kurang dari 14.000 pesantren di Indonesia.

Sekarang persoalannya, di antara belasan ribu pesantren tersebut, berapa banyak buku biografi kiai pesantren yang telah diterbitkan. Jumlah buku biografi kiai pesantren yang sudah meruyak pasar perbukuan masih bisa dihitung dengan jari. Apalagi, para kiai pesantren yang jejak keteladanannya direkam dalam buku baru sebatas kiai karisma dan ketokohannya diakui secara nasional. Sebut saja, Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang), Kiai Abdullah Hamid (Pasuruan), Gus Mik (Kediri), Kiai Arwani (Kudus), Kiai Munawwir (Krapyak), dan sebagainya. Sementara itu, jumlah kiai pesantren yang ketokohannya masih taraf lokal-regional ibarat gugusan pasir yang menghampar di pantai susah ditaksir dengan lentik jemari.

Karut-marut pembukuan kiai pesantren Mojokerto oleh dinas pariwisata dan kebudayaan setempat seharusnya menjadi pelajaran berharga sekaligus otokritik bagi pesantren secara keseluruhan. Insan pesantren mesti berani mendobrak, meminjam istilah Paulo Freire, budaya bisu (silent culture) yang sekian lama menggelayuti urat nadi kehidupan pesantren. Budaya bisu itulah yang menihilkan kreativitas sehingga pesantren acap terbuai sekaligus terbelenggu bayang-bayang mitos kebesaran dan kejayaan masa lalu.

Adalah KH Zainal Arifin Thoha yang semasa hidupnya terobsesi untuk mengangkat kembali kreativitas kepenulisan di pesantren dengan mendirikan Pesantren Hasyim Asy’ari di Jogjakarta bersama ”Si Celurit Emas” D. Zawawi Imron. Pesantren itu lebih difungsikan untuk mengasah nalar kreatif santri dalam hal tulis-menulis. Karena Gus Zainal adalah seorang penulis, menulis di pesantren itu menjadi sebuah keniscayaan.

Obsesi Gus Zainal diejawantahkan pula dalam kampanye kepenulisan ke berbagai pesantren. Ketika menyertainya road show ke berbagai pesantren yang tersebar di sejumlah kota di Jawa Timur bersama Ahmad Munif, Evi Idawati, dan Ahmad Tohari, saya tahu persis betapa menggeloranya Gus Zainal membakar semangat para santri untuk menekuni lagi tradisi menulis yang mulai dikremasi. Dengan kesadaran penuh, Gus Zainal merekam seluruh proses kreatif kepenulisannya dalam buku Aku Menulis Maka Aku Ada. Keteladanan, semangat, dan kearifan menekuni tulisan hingga kini masih terjaga meski Gus Zainal telah menanggalkan kesementaraan dunia pada 14 Maret 2007.

Apa yang telah diperbuat Gus Zainal semestinya bisa menjadi cermin dan digandakan di pesantren lain. Setidaknya, pesantren mau membuka diri dan memberi ruang materi tulis-menulis dalam kurikulum pendidikannya. Pelan-pelan tradisi menulis di pesantren akan menguat. Hatta, problem penulisan buku biografi kiai pesantren bisa diurai sejak dini.

Memang, butuh waktu relatif lama untuk menuntaskan agenda penulisan buku biografi kiai pesantren. Apalagi untuk kiai pesantren lokal-regional yang tergerus dan berada di tubir sejarah popularitas, perlu keterlibatan banyak pihak, termasuk instansi pemerintah. Kebijakan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Mojokerto untuk membukukan kiai pejuang di wilayah tersebut pantas diapresiasi dan semestinya direaksi pemerintah daerah lain. Sebab, mereka adalah aset kultural yang tak ternilai jasa dan pengabdian sepanjang hidupnya untuk mengayomi umat.

Bahwa mengenang para kiai yang telah wafat tak cukup sekadar mengadakan haul secara rutin saban tahun. Mengabadikan keteladanan mereka menjadi buku justru merupakan bentuk khidmat yang membawa manfaat nyata. Selama keteladanan itu masih terekam dalam ingatan yang cuma sepercik, kelak akan pudar dan aus oleh gerusan waktu. Hingga yang tersisa adalah batu nisan yang terus disambangi tanpa makna berarti.

Sebelum benar-benar terlambat, mari memulai mengabadikan keteladanan para kiai pesantren menjadi buku dengan segenap perasaan cinta dan rindu.

*) Redaktur Jurnal Millah, MSI UII Jogjakarta

Kematian Sang Penyair

Dati Wahyuni *)
http://oase.kompas.com/

Judul Buku : Mata Air Inspirasi; Mengenang Pemikiran dan Tindakan KH. Zainal Arifin Thoha, Pendiri dan Pelopor Pesantren Mandiri
Penulis : Joni Aridinata dkk.
Penerbit : Kutub, Yogyakarta
Cetakan : I Maret 2009
Tebal : xiii + 110 halaman

Jika selama ini kita mendengar, membaca atau mengikuti acara yang beraroma sastrawi, yang ada hanyalah pembacaan karya sastra berikut apresiasi terkadap karya tersebut. Sang Pengarang seakan mati. Yang hidup dan layak diapresiasi adalah Sang Karya.

Tentang Sang Karya dan Sang Pengarang ini, Goenawan Mohamad sebagaimana dikutip An. Ismanto, pernah menulis bahwa pembaca kita punya kecenderungan untuk menempatkan Sang Pengarang di pusat, walaupun semestinya yang berperan sebagai lakon utama di panggung sastra adalah Sang Karya. Pembaca kita,”memaksa” Sang Karya untuk mundur atau bahkan menghilang ke balik punggung Sang Pengarang. Sang Pengarang sendiri dimajukan dan, dalam bentuknya yang menakutkan, kecenderungan ini bahkan mencapai taraf nihilisasi terhadapnya, seperti yang terjadi pada kasus Pramoedya Ananta Toer.

Namun, dalam buku ini sementara waktu Sang Karya dipersilahkan untuk undur sejenak. Dan, memberikan tempat paling depan kepada Sang Pengarang. Sebab, kali ini para penulisnya hendak membaca Sang Pengarang, lantas disusul Sang Karya.

KH. Zainal Arifin Thoha, merupakan sosok Sang Pengarang yang diapresiasi para penulis buku ini. Gus Zainal, demikian para penulis menyebut Sang Pengarang, adalah salah satu penulis sastra, budaya, dan artikel ilmiah lainnya. Ia terlahir di Kediri, Jawa Timur, dan menetap di Yogyakarta. Selama menjadi penulis, ia melahirkan sejumlah karya yang terpublikasi melalui media massa, buku, dan suara vokalis. Diantaranya; puisi, cerpen, esai, opini dan lirik musik. Selain itu, ia juga seorang pendiri dan pelopor pesantren mandiri, PPM. Hasyim Asy’ari, di Yogyakarta. Sayangnya, belum genap berusia 35 tahun, kematian lebih dulu menjemputnya.

Kabar Kematian.

Tepat pada tanggal 14 Maret 2007 sekira jam 22.00 WIB, penyair muda ini menghembuskan nafas terakhir. Kontan saja para santri dan kawan-kawan serta penulis yang mengenalnya menjadi tercengang. Mereka tidak mengetahui penyebab kematian yang datang tiba-tiba itu. Sekitar pukul 19.00 WIB, Gus Zainal masih di pesantren dan berjama’ah Sholat Isya’ bersama santri-santrinya. Setelah itu, ia pulang ke ndalem (rumah) dan suasana kediaman pun masih tampak seperti malam-malam sebelumnya. Namun, kabar kematian itulah yang akhirnya menyulap semua. Sang Pengarang telah berpulang dan kabarnya menyebar di sejumlah media cetak dan elektronik.

Tidak sedikit pertanyaan yang beriringan dengan do’a yang dihaturkan orang-orang yang merasa kehilangan Gus Zainal. Salah satunya; apakah proses kematian Gus Zainal sama seperti penyair-penyair yang telah meramalkan kematian mereka dalam puisi sebelum mati? Dalam buku inilah, pertanyaan itu dijawab Zen Rahmat Soegito (hlm.66-73).

Meraba Kematian

Ada beberapa penyair yang selama ini kita ketahui telah meraba-raba kematian mereka di puisi yang dicipta semasa hidup. Baca saja, semisal puisinya Kristanto Agus Purnomo atau Kriapur, yang berjudul “Kupahat Mayatku di Air”, Chairil Anwar dalam “Yang Terhempas dan Yang Putus”, Federico Garcia Lorca pada Primer Romancero Gitano. Akhir kehidupan mereka persis apa yang telah dibayangkan.

Kriapur meninggal di air dalam sebuah kecelakaan yang membuat mobil yang ia tumpangi amblas di dasar kali. Chairil Anwar mati di tahun yang sama dengan sajak yang ia tulis. Dan di Karet pula ia dikuburkan. Federico Garcia Lorca pada tanggal 19 Agustus 1931, 3 tahun setelah sajak itu ditulis, mati dan tidak diketemukan pula jasadnya.

Selain mereka, Gus Zainal pernah meraba kematiannya dalam puisi “Ciuman Terakhir Menjelang Kematian”. Pada puisi yang dimuat dalam antologi puisi tunggal “Engkaulah Cinta, Akulah Rindu” itu, ia menulis begini; “Tuhan beri aku ciuman, biar segera lesat ini sukma, dan terlemparlah bangkai badan dari bau semesta”. Gus Zainal pun dijemput maut dengan cepat dan mudah. Hanya dua cegukan dan beberapa menit menggigil kedinginan. Seperti permintaannya; “biar segera lesat ini sukma”.

Itu adalah bait penutupnya. Tapi, menurut Zen, yang lebih mengejutkan adalah bait pembukanya. Di bait pertamanya, Gus Zainal melukiskan malaikat yang berkeringat sembari melukiskan keadaan dirinya yang sedang sekarat, sesuatu yang luar biasa pun benar-benar kejadian.

Menurut penulis lainnya, berdasarkan informasi yang terhimpun, proses kematian Gus Zainal persis seperti yang terlukis dalam puisi itu. Ketika itu, Gus Zainal ada di ruang depan, di depan televisi, tiduran di atas karpet, dekat dengan jendela rumahnya.

Mirip ilustrasi puisi itu, di sana pula; di depan televisi, di atas sehelai karpet, di dekat jendela rumahnya, Gus Zainal pergi dengan cepat. Mungkin juga dengan mudah. Dan seperti itu pula yang dibayangkan Gus Zainal mengenai ikhwal kematiannya, seperti yang ia tulis di bait pembuka “Ciuman Terakhir Menjelang Kematian”. Gus Zainal menulis begini; “keringat begitu deras melumuri tangan malaikat, dan aku yang terpingsan-pingsan dekat jendela, memandang wajahmu dalam gaib asamaradana. Tuhan, beri aku ciuman, sebelum nyawa meregang”. Inilah kisah kematian yang mengejutkan.

Keunikan Lain

Berbeda penilaian, D. Zawawi Imron menemukan keunikan lain dari Gus Zainal. Zainal, menurut Budayawan dari Madura itu, adalah seorang anak muda yang hidupnya tidak hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri. Lebih dari itu, ia ingin bermanfaat bagi banyak orang. Dia ingin mencetak banyak anak yang terampil menulis atau menyampaikan hasil tulisannya dalam bentuk tulisan (hlm.105).

Menurut Joni Ariadinata, selama yang ia kenal, Gus Zainal adalah salah satu orang yang mencintai kuburan. Baginya, kuburan adalah representasi yang paling jelas dari masa depan. Dari kuburanlah ia mendapat spirit dan selalu mendorong para santrinya untuk berbuat. “Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat kepada sesama”, demikian pesan Gus Zainal yang dikutip cerpenis dan redaktur majalah sastra itu.

Tidak kalah memberikan kesaksian, Muhidin M. Dahlan juga mengenang anjuran Gus Zainal untuk menziarahi kuburan. Namun, bagi penulis “Kabar Buruk dari Langit” itu, kuburan tak semestinya dipahami sebagai kuburan bangkai-bangkai semata. Rak buku sama dengan kuburan. Dalam rak pula, berjejer-jejer buku terdiam dan menantikan peziarah. Bukankah Gus Zainal tak pernah mengharamkan santrinya membaca dan menulis apapun? Bukankah ia juga pernah berkata bahwa hikmah harus dicari dan tersebar dibanyak halaman buku? Memang, menurut Kuswaidi Syafi’ie, Zainal betul-betul telah membangun fondasi hidup yang patut dicontoh oleh siapapun. Tasawuf telah mengantarkan dirinya pada kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan.

Terlepas dari kesaksian mereka, Gus Zainal adalah Gus Zainal. Ia layak memiliki sebutan Sang Pengarang dengan bukti sejumlah karyanya. Dalam buku ini, apresiasi para penulis terhadap Sang Pengarang, cukup memberikan kesan dan wawasan pembaca. Antara Sang Pengarang dan Sang Karya, memiliki pertalian ruh (spirit) yang kuat dan penuh teka-teki. Meski demikian, akan lebih banyak teka-teki jika disusul Sang Karya-Sang Karya dari para Sang Pengarang lainnya.

*) Penikmat Sastra dan Mahasiswi Universitas Serang Raya (UNSERA).

Kematian Sang Penyair

Dati Wahyuni *)
http://oase.kompas.com/

Judul Buku : Mata Air Inspirasi; Mengenang Pemikiran dan Tindakan KH. Zainal Arifin Thoha, Pendiri dan Pelopor Pesantren Mandiri
Penulis : Joni Aridinata dkk.
Penerbit : Kutub, Yogyakarta
Cetakan : I Maret 2009
Tebal : xiii + 110 halaman

Jika selama ini kita mendengar, membaca atau mengikuti acara yang beraroma sastrawi, yang ada hanyalah pembacaan karya sastra berikut apresiasi terkadap karya tersebut. Sang Pengarang seakan mati. Yang hidup dan layak diapresiasi adalah Sang Karya.

Tentang Sang Karya dan Sang Pengarang ini, Goenawan Mohamad sebagaimana dikutip An. Ismanto, pernah menulis bahwa pembaca kita punya kecenderungan untuk menempatkan Sang Pengarang di pusat, walaupun semestinya yang berperan sebagai lakon utama di panggung sastra adalah Sang Karya. Pembaca kita,”memaksa” Sang Karya untuk mundur atau bahkan menghilang ke balik punggung Sang Pengarang. Sang Pengarang sendiri dimajukan dan, dalam bentuknya yang menakutkan, kecenderungan ini bahkan mencapai taraf nihilisasi terhadapnya, seperti yang terjadi pada kasus Pramoedya Ananta Toer.

Namun, dalam buku ini sementara waktu Sang Karya dipersilahkan untuk undur sejenak. Dan, memberikan tempat paling depan kepada Sang Pengarang. Sebab, kali ini para penulisnya hendak membaca Sang Pengarang, lantas disusul Sang Karya.

KH. Zainal Arifin Thoha, merupakan sosok Sang Pengarang yang diapresiasi para penulis buku ini. Gus Zainal, demikian para penulis menyebut Sang Pengarang, adalah salah satu penulis sastra, budaya, dan artikel ilmiah lainnya. Ia terlahir di Kediri, Jawa Timur, dan menetap di Yogyakarta. Selama menjadi penulis, ia melahirkan sejumlah karya yang terpublikasi melalui media massa, buku, dan suara vokalis. Diantaranya; puisi, cerpen, esai, opini dan lirik musik. Selain itu, ia juga seorang pendiri dan pelopor pesantren mandiri, PPM. Hasyim Asy’ari, di Yogyakarta. Sayangnya, belum genap berusia 35 tahun, kematian lebih dulu menjemputnya.

Kabar Kematian.

Tepat pada tanggal 14 Maret 2007 sekira jam 22.00 WIB, penyair muda ini menghembuskan nafas terakhir. Kontan saja para santri dan kawan-kawan serta penulis yang mengenalnya menjadi tercengang. Mereka tidak mengetahui penyebab kematian yang datang tiba-tiba itu. Sekitar pukul 19.00 WIB, Gus Zainal masih di pesantren dan berjama’ah Sholat Isya’ bersama santri-santrinya. Setelah itu, ia pulang ke ndalem (rumah) dan suasana kediaman pun masih tampak seperti malam-malam sebelumnya. Namun, kabar kematian itulah yang akhirnya menyulap semua. Sang Pengarang telah berpulang dan kabarnya menyebar di sejumlah media cetak dan elektronik.

Tidak sedikit pertanyaan yang beriringan dengan do’a yang dihaturkan orang-orang yang merasa kehilangan Gus Zainal. Salah satunya; apakah proses kematian Gus Zainal sama seperti penyair-penyair yang telah meramalkan kematian mereka dalam puisi sebelum mati? Dalam buku inilah, pertanyaan itu dijawab Zen Rahmat Soegito (hlm.66-73).

Meraba Kematian

Ada beberapa penyair yang selama ini kita ketahui telah meraba-raba kematian mereka di puisi yang dicipta semasa hidup. Baca saja, semisal puisinya Kristanto Agus Purnomo atau Kriapur, yang berjudul “Kupahat Mayatku di Air”, Chairil Anwar dalam “Yang Terhempas dan Yang Putus”, Federico Garcia Lorca pada Primer Romancero Gitano. Akhir kehidupan mereka persis apa yang telah dibayangkan.

Kriapur meninggal di air dalam sebuah kecelakaan yang membuat mobil yang ia tumpangi amblas di dasar kali. Chairil Anwar mati di tahun yang sama dengan sajak yang ia tulis. Dan di Karet pula ia dikuburkan. Federico Garcia Lorca pada tanggal 19 Agustus 1931, 3 tahun setelah sajak itu ditulis, mati dan tidak diketemukan pula jasadnya.

Selain mereka, Gus Zainal pernah meraba kematiannya dalam puisi “Ciuman Terakhir Menjelang Kematian”. Pada puisi yang dimuat dalam antologi puisi tunggal “Engkaulah Cinta, Akulah Rindu” itu, ia menulis begini; “Tuhan beri aku ciuman, biar segera lesat ini sukma, dan terlemparlah bangkai badan dari bau semesta”. Gus Zainal pun dijemput maut dengan cepat dan mudah. Hanya dua cegukan dan beberapa menit menggigil kedinginan. Seperti permintaannya; “biar segera lesat ini sukma”.

Itu adalah bait penutupnya. Tapi, menurut Zen, yang lebih mengejutkan adalah bait pembukanya. Di bait pertamanya, Gus Zainal melukiskan malaikat yang berkeringat sembari melukiskan keadaan dirinya yang sedang sekarat, sesuatu yang luar biasa pun benar-benar kejadian.

Menurut penulis lainnya, berdasarkan informasi yang terhimpun, proses kematian Gus Zainal persis seperti yang terlukis dalam puisi itu. Ketika itu, Gus Zainal ada di ruang depan, di depan televisi, tiduran di atas karpet, dekat dengan jendela rumahnya.

Mirip ilustrasi puisi itu, di sana pula; di depan televisi, di atas sehelai karpet, di dekat jendela rumahnya, Gus Zainal pergi dengan cepat. Mungkin juga dengan mudah. Dan seperti itu pula yang dibayangkan Gus Zainal mengenai ikhwal kematiannya, seperti yang ia tulis di bait pembuka “Ciuman Terakhir Menjelang Kematian”. Gus Zainal menulis begini; “keringat begitu deras melumuri tangan malaikat, dan aku yang terpingsan-pingsan dekat jendela, memandang wajahmu dalam gaib asamaradana. Tuhan, beri aku ciuman, sebelum nyawa meregang”. Inilah kisah kematian yang mengejutkan.

Keunikan Lain

Berbeda penilaian, D. Zawawi Imron menemukan keunikan lain dari Gus Zainal. Zainal, menurut Budayawan dari Madura itu, adalah seorang anak muda yang hidupnya tidak hanya bermanfaat bagi dirinya sendiri. Lebih dari itu, ia ingin bermanfaat bagi banyak orang. Dia ingin mencetak banyak anak yang terampil menulis atau menyampaikan hasil tulisannya dalam bentuk tulisan (hlm.105).

Menurut Joni Ariadinata, selama yang ia kenal, Gus Zainal adalah salah satu orang yang mencintai kuburan. Baginya, kuburan adalah representasi yang paling jelas dari masa depan. Dari kuburanlah ia mendapat spirit dan selalu mendorong para santrinya untuk berbuat. “Sebaik-baik manusia adalah yang memberi manfaat kepada sesama”, demikian pesan Gus Zainal yang dikutip cerpenis dan redaktur majalah sastra itu.

Tidak kalah memberikan kesaksian, Muhidin M. Dahlan juga mengenang anjuran Gus Zainal untuk menziarahi kuburan. Namun, bagi penulis “Kabar Buruk dari Langit” itu, kuburan tak semestinya dipahami sebagai kuburan bangkai-bangkai semata. Rak buku sama dengan kuburan. Dalam rak pula, berjejer-jejer buku terdiam dan menantikan peziarah. Bukankah Gus Zainal tak pernah mengharamkan santrinya membaca dan menulis apapun? Bukankah ia juga pernah berkata bahwa hikmah harus dicari dan tersebar dibanyak halaman buku? Memang, menurut Kuswaidi Syafi’ie, Zainal betul-betul telah membangun fondasi hidup yang patut dicontoh oleh siapapun. Tasawuf telah mengantarkan dirinya pada kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan.

Terlepas dari kesaksian mereka, Gus Zainal adalah Gus Zainal. Ia layak memiliki sebutan Sang Pengarang dengan bukti sejumlah karyanya. Dalam buku ini, apresiasi para penulis terhadap Sang Pengarang, cukup memberikan kesan dan wawasan pembaca. Antara Sang Pengarang dan Sang Karya, memiliki pertalian ruh (spirit) yang kuat dan penuh teka-teki. Meski demikian, akan lebih banyak teka-teki jika disusul Sang Karya-Sang Karya dari para Sang Pengarang lainnya.

*) Penikmat Sastra dan Mahasiswi Universitas Serang Raya (UNSERA).

Hidayaturrahmah

Zainal Arifin Thoha
http://www.kr.co.id/

LAMA sudah sebenarnya orangtuaku, terutama ayah, menyuruhku agar segera berbaiat dan masuk tarekat, sebagaimana tarekat yang dianut oleh orangtuaku. Namun sejauh itu, aku belum juga melaksanakan permintaan beliau. Bukan aku bermaksud membantah dan apalagi menentang perintah orangtua, melainkan aku merasa bahwa diriku masih terlalu muda. Selain itu, aku pernah bermimpi, dan mimpiku itu menurut guruku adalah bagian dari tarekat. Dan aku, rupanya, lebih sreg atau merasa puas dengan pendapat guruku.

Suatu malam, demikian kisahnya, aku bermimpi bertemu dengan seorang tua berkulit hitam, berjubah putih, orangnya kurus dan lincah. Orang tua itu seakan-akan menyuruhku mengikuti perjalanannya. Anehnya, orang tua itu seperti terbang, meloncat dari satu tempat ke tempat lain, dari satu daerah ke daerah lain, dan lebih aneh lagi aku bisa mengikutinya.

Hingga pada loncatan terbang yang terakhir, dimana aku tak bisa mengejarnya lagi, lantaran orang tua itu terbang meloncati lautan, di situ, di pinggir lautan yang ditinggalkannya, aku mendapati sebuah tulisan Arab, dalam papan petunjuk, berbunyi : “Innal-ladziina yubaayi’uunaka innamaa yubaayi’unnallah, yadullaahi fawqa aidiihim faman-nakasa fainnamaa yankutsu ‘alaa nafsih,waman awfaa bimaa ‘aahada ‘alaihullaaha fasayu’tiihi ajran ‘adhiimaa.”

Saat membaca petunjuk itu, aku ingat sekali, bahwa kalimat itu adalah ayat bagian dari surat Al-Fath. Mimpi itu terus terbayang-bayang dan terasa hingga kini. Namun demikian, saat itu aku penasaran, siapakah sesungguhnya orang tua yang mengajak aku terbang mengikuti loncatan-loncatannya?

Hingga suatu ketika, saat aku berkunjung ke sebuah kota, dimana aku pernah mondok lama di sebuah Pesantren di sana, dan aku mempunyai seorang guru yang telah lama membimbingku dalam spiritualitas, maka kepada beliau aku bertanya perihal mimpiku itu. Menurut beliau, mimpiku itu adalah bagian dari baiat secara langsung dari seorang tokoh. Tokoh ini, menurut beliau, memang biasa memberikan bimbingan secara gaib dan personal kepada para pelaku tarekat.

“Jadi saya tak perlu berbaiat kepada seorang guru pada tarekat tertentu, Guru?” tanyaku saat itu.

“Tak perlu.”

“Walaupun yang menyuruhku memasuki tarekat adalah orangtua saya sendiri?”

“Iya, walaupun yang menyuruhmu adalah orangtuamu. Tapi perlu kau ingat,” lanjut guru, “engkau musti menjelaskan kepada orangtuamu tentang hal ini, seperti apa yang aku paparkan tadi, supaya orangtuamu mengerti dan meridhoi”.

Begitulah, pada kali lain saat aku pulang ke rumah orangtuaku di daerah Jawa Timur (aku tinggal di Yogya) dan orangtuaku mengulangi lagi permintaannya agar aku berbaiat dan memasuki tarekat sebagaimana tarekat yang diikuti kedua orangtuaku, maka apa yang telah dijelaskan guruku, aku jelaskan kepada orangtuaku. Alhamdulillah, orangtuaku dapat memahami, bahkan meridhoi.

“Tapi,” kata ayah, “engkau tetap harus berhati-hati. Sebab tidak tertutup kemungkinan, pada kali lain engkau bermimpi atau bertemu secara langsung dengan sosok tertentu, namun sesungguhnya dia syetan yang hendak menipumu.”

“Baik, Ayah,” jawabku, “tapi saya mohon ayah maupun ibu, senantiasa mendoakan agar saya tidak tersesat, sehingga dapat mengikuti petunjuk yang pernah, yakni petunjuk Allah SWT.”

Sejauh ini, alhamdulillah, keyakinanku semakin mantap, bahwa petunjuk itu memang benar adanya, sebagaimana yang telah dijelaskan guruku. Namun demikian pada saat-saat tertentu, ingin sebenarnya aku bermimpi lagi atau bertemu secara langsung dengan sosok yang pernah menuntunku lewat mimpi itu.

Kondisi yang demikian itu, biasanya muncul saat aku berhadapan dengan orang-orang yang telah berbaiat secara langsung dengan seorang guru tarekat. Apalagi kalau orang itu bercerita mengenai sosok gurunya, juga teladan maupun petunjuk yang telah didapat dari gurunya.

Bersamaan dengan itu, alhamdulillah, aku juga kemudian merasa tenang, terlebih bila mengingat cerita-cerita perjalanan kaum sufi yang aku baca dari buku-buku, bahwa perjalanan menuju Allah SWT itu begitu berliku. Namun bagi orang yang senantiasa berusaha untuk tawakal dan mecintai dengan kesungguhan hati kepada Allah SWT, Insya Allah seseorang akan senantiasa diberi petunjuk dan dibimbing secara langsung oleh Alllah.

Hanya saja, perjalanan kehidupan yang aneh yang berlangsung semenjak aku mendapatkan mimpi itu, adalah bahwa ada saja orang-orang tua yang datang ke rumahku, yang aku tidak mengenal beliau-beliau itu sebelumnya, namun beliau-beliau itu senantiasa memberikan perhatian yang amat baik, bukan saja kepadaku, melainkan juga kepada keluargaku.

Ada seorang tua yang berbulan-bulan secara rutin datang ke rumahku. Lalu menghilang atau pergi begitu saja dan tak pernah datang lagi ke rumah. Lalu datang lagi orang tua yang lain, dan ini berlangsung hingga berbulan-bulan. Kemudian pergi dan tak pernah kembali lagi. Lalu datang orang tua yang lain, begitu seterusnya.

Orang-orang tua itulah yang akhirnya menjadi cerminku, cermin secara tidak langsung, bahwa aku musti bersikap sak madya, dalam istilah Jawa, atau tawakal kepada Allah tanpa berpretensi atau memperlihatkan diri sebagaimana halnya para pelaku sufi atau tarekat pada umumnya.

Nah, di antara orang-orang tua itu, ada seorang tua yang bila datang ke rumahku senantiasa membawakan oleh-oleh berupa kacang dan kelapa. Terus-menerus begitu. Hingga lama-lama aku jadi penasaran, apa sesungguhnya makna dari kacang dan kelapa?

“Kacang”, jawab seorang temanku yang aku percaya, “merupakan buah dari tanah yang secara dhahir tampilannya biasa-biasa saja, tapi di dalamnya terdapat buah putih dua biji yang menyatu di satu tempat. Dan dua buah itu menyatu di dalam satu kacang.”

“Lalu,” kataku tidak sabar,” apa maknanya?”

“Itulah loro-loroning atunggil”.

“Maksudnya apa?”

“Suatu saat, engkau akan diberi tahu, dan mengerti sendiri.”

Pada kali lain, aku bertanya lagi, kali ini tentang makna kelapa itu.

“Kelapa adalah buah yang semuanya berguna,” ucapnya.

“Maksudnya?”

“Kalau engkau mengamati dan merenungi, bukankah tak sesuatu pun yang tak bermanfaat dari buah kelapa itu.”

“Lalu?”

“Itulah makna kelapa. Isinya bermanfaat. Batoknya bermanfaat. Sepetnya bermanfaat. Kulitnya bermanfaat. Bahkan, pohon dari kelapa pun tak ada yang tak bermanfaat, mulai dari akar, pohon, daun, manggar, bahkan hingga kelapa yang muda maupun yang tua, semua ada manfaatnya.”

“Dengan kata lain, sebenarnya hal itu merupakan petunjuk agar aku menjadi orang yang bisa mencerminkan hal itu?”

“Insya Allah, begitu”.

Inikah tarekat itu? Bisa iya, bisa tidak. Hanya Allah yang Maha Tahu. Dan sejauh ini aku selalu berharap, agar Allah senantiasa memberi petunjuk dan selalu membimbingku. Bahkan lebih dari itu, juga memberi kasih sayang padaku.

Itulah, Hidayaturrahmah. Gabungan dari dua ayat yang aku temukan dari Al-Qur’an di bulan Ramadhan, saat aku beristikharah untuk sebuah nama yang diminta seorang kawan untuk keponakannya yang baru lahir.

Dua ayat itu juga merupakan petunjuk bagiku, bahwa tanpa keduanya, tak mungkin aku dapat meniti jalan menuju ridho dan cinta-Nya. Titian jalan inilah tarekatku, yang semoga juga tarekat orang-orang yang tengah dan telah berada di titian ridho dan cinta-Nya Azza wa Jalla. Amin.

Jogja,2004.